The Pandemic: Catatan Penyertaan Tuhan Ditengah Pergumulan Pandemik

Happy day semuanya!!

Minggu 12 April 2020,
Hari Raya Paskah
Selamat merayakan kebangkitan Tuhan Yesus dalam menebus dosa manusia

Mulai hari ini aku berniat untuk membuat postingan mengenai pengalamanku terpapar pada saat  pandemik ini, bukan dari sisi betapa hebatnya virus corona / COVID-19 itu, tetapi dari sisi betapa besarnya karya Tuhan dalam masa-masa sukar ini. Sudah terlalu banyak berita mengerikan mengenai hal ini. Aku muak! Aku merasa aku harus mulai melakukan sesuatu. Ini kisah kebesaran Tuhan!


Dear everyone, including my future self

Catatan ini dibuat bukan untuk menebarkan ketakutan, kegelisahan, atau membuka luka kenangan lama tentang apa yang terjadi di masa lalu, tapi biarlah setiap kali aku membaca ini kembali, aku tetap dikuatkan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan aku sendiri dan selalu ada dalam setiap langkahku. Aku membuat catatan ini ditengah kondisi isolasi dan lock down PSBB di sejumlah tempat, sehingga memiliki waktu untuk merenung & memang tidak bisa kemana-mana.

Catatan ini dibuat karena hingga saat ini aku yakin, kualitas ingatanku tidak pernah sama dari tahun ke tahun, akan ada potongan kisah, kejadian dan ingatan yang hilang seiring waktu, dan catatan merupakan hal yg bisa mengabadikan semua yang dirasakan oleh pancaindra pada saat suatu kejadian telah dilewati. Jika pernah membaca Harry Potter, mungkin ini lah yg paling mendekati dengan Pensieve milik Dumbledore, bahkan sebuah video tidak bisa menggambarkan apa yang dialami pancaindra. Sama seperti saat aku lulus jurusan yang aku inginkan dengan ajaib, saat papa meninggal, saat semua hal besar terjadi. Ketika aku membacanya lagi, ternyata ada detail yang tak ku ingat setelah beberapa tahun dan menjadi kenangan manis ketika kembali dibaca, seraya bersyukur dan merefleksikan masalah besar yang seiring waktu menjadi tidak relevan, tapi Tuhan tetap relevan.

Sebulan rasanya sangat panjang, dan setiap hari penuh dengan berita Covid-19 atau coronavirus, atau kedepan saya akan katakan sebagai STUPID-19 sebagaimana pendeta Iin Tjipto katakan, bahwa penyakit ini tidak boleh menjadi ketakutan yang lebih besar dari kepercayaan kepada Tuhan, bahwa ini sudah kadaluarsa, dan kita harus berdoa untuk menengking segala sakit penyakit. Amin. 

Mari aku gambarkan apa yang saya rasakan sebelum pandemik ini.

Februari 2020

Sejak Januari 2020, aku sangat bersemangat untuk mencari pekerjaan. Aku mengimani bahwa tahun ini aku akan bekerja, menggunakan gelar MBA ku untuk pekerjaan yang berkelas. Ada beberapa strategi yang aku kembangkan untuk ini. Dalam mencari kerja, aku sebar CV setiap beberapa hari ke berbagai lowongan. Aku mengembangkan program untuk menyesuaikan CV/resume dengan perusahaan yang aku tuju. Di sisi lain, aku menghabiskan waktu dengan mengikuti kelas Udemy, dan diwaktu lain aku mengembangkan konten personal branding di instagram untuk jangka panjang. Apa yang aku rasakan? Tentu aku juga merasa gelap karena sudah ikut beberapa tes, beberapa wawancara, masih saja tidak dapat kerja. Tapi dengan latar belakang MBA ku, aku merasa suatu saat aku pun bisa membuat lapangan kerja ku sendiri, tidak perlu mengemis kepada orang lain, jadi coba-coba saja terus.

Namun, suatu hari di akhir bulan Februari, mulai ada harapan. Aku ikut tes di perusahaan migas (Med**) dan berhasil lulus hingga beberapa step kedepan. Itu menumbuhkan semangat aku dan merasa mungkin ini jalannya. Masuk awal Maret, aku merasa aku butuh bertindak lebih. Aku pun juga berpuasa supaya Tuhan buka jalan yang terbaik untuk semuanya, tentang pekerjaan, tentang hubungan dan masa depan.

1-8 Maret 2020

Di sisi lain, awal Maret tersebut pemberitaan mengenai penyakit STUPID-19 itu mulai merebak. Negara-negara lain merasa sangat aneh rasanya di Indonesia belum ada kasus, sedangkan negara-negara sekitar mulai banyak kasus. Aku waspada? Mungkin. Tapi rasanya berita itu masih jauh, tidak relevan, toh kami tidak ada ke luar negeri. 

3 Maret, aku ikut tes kerja lagi. Aku menginap di Jakarta dengan mama dan adik karena adik saya sedang dinas  di Jakarta. Sepulang tes, ternyata sudah ada kabar bahwa STUPID-19 sudah masuk ke Indonesia. Aku langsung ke mall sebrangnya, untuk membeli masker. Ternyata orang-orang sudah bergerak cepat. Habis ludes! Aku pun pulang ke tempat adik menggunakan gojek. Mama pulang dari puskesmas membawa masker karena aku WA di grup keluarga bahwa sudah susah mencari yang menjual masker. Akhirnya aku pulang ke rumah (agar tempat adik aku tidak sempit) dengan menggunakan masker yang dibawa mama. Menyebalkan sekali, pada saat di kereta bandara, dengan lantang bapak-bapak berbaju seragam tertentu (penumpang juga) berbicara cukup keras "ngapain pakai masker, cuma orang yang takut mati yang pakai masker! Tenang aja lah". Aku pikir, suka-suka aku dong, kalau aku merasa butuh memproteksi diri. Kalau dipikir-pikir lagi kondisi benar-benar berupa ga sampai sebulan. Aku membayangkan dia tidak mungkin bicara hal yang sama setelah ini semua selesai.

Puji Tuhan, 5 Maret ada panggilan untuk tes selanjutnya di perusahaan migas ini, bertempat di Sudirman. Kebetulan juga adik aku masih dinas di Jakarta, jadi aku numpang menginap lagi di sana. 5 Maret pagi, aku berangkat ke Sudirman. Tidak seperti pada tes sebelumnya, masuk gedung ini mulai di cek temperatur dan ditanyai sejarah perjalanan ke luar negeri. Aman. Meskipun merupakan tes FGD, aku merasa senang karena makannya prasmanan. Disini juga mulai ada sedikit dilema, karena saat masih berlangsung FGD, saya di telpon perusahaan lain karena mereka setuju untuk mulai meng-hire aku kamis depan! Pusing? Iya dong. Saya sangat berharap bisa kerja di perusahaan migas ini, tapi masih ada beberapa step ke depannya. Perusahaan yg lain tersebut? Saya punya passion di finance, tapi saya merasa kurang cocok dengan tawarannya. Kegiatan pun berlalu dan pada hari itu aku pulang ke rumah, merasa butuh bimbingan Tuhan. Jadi aku berpuasa, tapi ga cuma soal kerjaan, tapi jg soal hubungan dan masa depan juga dong, aku pikir biar sekalian. Tanggal 7 adik saya kembali ke makassar, sedangkan malamnya saya, mama dan tante saya makan malam bersama. 

(Nothing special, sebenarnya. Tapi, pada saat penulisan ini mama saya khawatir peristiwa ini bikin adik saya terkena juga, dimana setelah rapid test bulan April, adik saya negatif).

9 Maret-15 Maret 2020-Saat krusial
Ini adalah tanggal saya dan Yayay mulai pacaran, setiap tanggal 9 kami merayakannya. Kebetulan ini hari Senin. Jadi kami sudah janjian untuk ketemu pada hari Sabtu tanggal 14 Maret. Aku sangat excited dengan hal ini. Disisi lain, aku mengetahui bahwa beberapa orang yang ikut FGD sudah diberi surat untuk melanjutkan tes, yang berarti aku tidak lulus seleksi selanjutnya. Aku pun melanjutkan mencari kerja seperti biasa, menggunakan program yang aku bikin. Berarti jawaban doa ku dari Tuhan adalah belum. Lalu, seperti sore lainnya, mama pulang ke rumah. Sedikit batuk-batuk, tapi sepertinya hal biasa. Malam pun tidur seperti biasa, namun yg perlu diingat, aku dan mama biasanya tidur di kamar yang sama, mama di spring bed, aku di kasur lantai. Kenapa? Hal ini untuk penghematan sih sebenarnya. Buat apa nyalain 2 AC di dua kamar kalau bisa 1 AC saja. Tapi malam itu mama mulai batuk-batuk. Aku sedikit terganggu, tapi masih tidak ada pikiran apapun mengenai STUPID-19. Apalagi dibilang masih beberapa orang yg kena dan sudah diisolasi. Aman.

Besok harinya, aku merasa hal yang aneh. Karena mama batuk, aku pun ikut batuk. Aku pikir, cepat juga ketularannya. Mana hari sabtu udah janjian ketemu Yayay. Jadi, hari ini aku pun bantai tidur biar bisa cepat pulih. Aku juga sempat merasa bahwa karena puasa kemarin-kemarin itu kali ya, daya tahan tubuh jadi lemah. Belum lagi baru ditolak perusahaan, mungkin ini waktunya istirahat. Jadi lah aku istirahat saja saat itu, sedikit batuk-batuk. Sorenya mama pulang lagi, masih batuk-batuk, aku sempat khawatir, tapi mama bilang "mama kalau batuk emang gini, lama". Dan memang biasanya sih begitu. Malamnya mama batuk-batuk terus, hingga aku pun mencium bau aneh di hidungku. Baunya seperti bau jigong (sorry agak frontal, supaya secara pancaindra jelas) jadi aku berusaha tutup hidung menggunakan bantal. Di pikiranku aku merasa seharusnya aku pindah ke kamar aku. Tapi disisi lain, kalau mama sakit, aku ga boleh ninggalin mama sendiri. Toh aku lebih kuat, sebentar juga sembuh.

Namun Rabu paginya, bau di hidungku tidak berkurang, dan aku merasa meriang. Disini aku mulai paranoid. Pemberitaan mengenai STUPID-19 makin banyak, saya mulai merasa curiga, meskipun baru beberapa orang yg menurut pemerintah yang terjangkit, sepertinya sudah ada penyebaran lokal entah bagaimana. Tapi bagaimana bisa tau? Kami keluar negeri pun tidak! Ga mungkin cuma kira-kira. Jadi siang ini aku juga hanya tidur-tiduran saja biar sabtu bisa ketemu Yayay. Aku juga mulai mengamati, kakak aku yang tadinya tidak batuk, mulai jadi batuk-batuk. Cepat sekali pikirku. Jadi lah semakin parno. Rabu malam, mama masih batuk-batuk. Sepanjang malam, aku berusaha tidur dengan menutupi hidung dengan bantal, karena hidungku merasa bau dan agar tidak ketularan. Kamis pagi, aku sudah tidak batuk lagi, meskipun masih merasa tidak enak badan. Jadi mama suruh aku tidur di atas saja di kamarku sendiri. 

Meskipun sudah tidak batuk, aku merasa hal yang tidak wajar karena bau di hidungku tidak hilang-hilang. Aku merasakan hal yang tidak pernah terjadi dalam hidup aku. Saat aku membuka aromaterapi di kamar aku, aku tidak bisa menciumnya sama sekali! Aku mulai panik. Aku ga pilek, tapi ga bisa cium apa-apa kecuali bau jigong itu! Aku coba cium parfum, benar-benar tidak ada aromanya, bahkan aku cium antis pun yang terasa hanya panas di hidung, tapi tidak ada aroma apapun! Aku mengadu ke mama, kenapa ini ma? Aku panik sekali, karena penciuman aku cukup peka dengan aroma meskipun sedikit. 

(Dulu, satu keluarga menganggap aku aneh karena  beberapa hari selalu bilang nasi rumahku bau racun. Sedangkan makan nasi kotak dari tetangga rasanya biasa saja. Ternyata setelah ditelusuri, kakak saya menaruh kamper di lemari tempat penyimpanan pemasak nasi. Bahkan tidak bersentuhan.)

Jadi, mengetahui penciuman saya hilang merupakan pengalaman yang ngeri. Aku juga bilang, lidah aku jadi putih ma! Tapi mama saya bilang "ga usah mikir yang aneh-aneh, itu kan bukan gejalanya".

(Baru setelah beberapa lama ini hasil penelitian mengungkapkan bahwa beberapa persen yang terjangkit STUPID-19 ini akan kehilangan kemampuan untuk mencium)

Tapi memang, kalau makanan aku tetap punya rasa yang tajam. Jadi aku pikir, memang karena lagi batuk. Aku juga curhat ke Yayay, dia bilang papanya juga sering begitu kalau lagi batuk, gabisa cium apa2, namanya anosmia. Aku pikir memang hal yang wajar ternyata. Selain itu, yang mengalami ini hanya aku saja, sedangkan mama yang batuknya parah tidak apa-apa. Waktu mama bilang "Bau petenya enak ya, bikin lapar" aku protes, aku benar-benar ga bisa cium apa-apa. Aku benar-benar ingin hari sabtu ketemu Yayay, jadi banyak waktu aku cuma istirahat. Mama cek suhu badan aku, ternyata demam 37.7. Benar ternyata selama ini aku meriang. Mama juga berpikir ia juga ngerasa mukanya panas, tapi rasanya ya biasa saja. Setelah di cek ternyata demam 38 koma. Dan kakak 37.5. Jadi hari itu kami hanya beristirahat saja. Aku di kamar aku dan mama di kamarnya. Hari jumat aku merasa enakan, tapi aku sudah punya kecurigaan bahwa benar sudah ada penularan lokal namun tidak terdeteksi. Mama selalu positif thinking (aku banyak negatif thinking karena punya sejarah anxiety cemas), pasiennya di puskesmas bukan orang-orang yang pernah keluar negeri. Setiap demam, batuk ditanya, "kamu ada ke luar negeri?", biasa dijawab "boro-boro dok, makan juga susah". Jadi tenang saja. Oke pikirku, tapi memang penularan lokal yang belum terdeteksi tetap kekhawatiranku. 

Hari jumat aku merasa lebih baik, tidak banyak batuk-batuk lagi. Sedikit meriang, tapi siap untuk besok sabtu ketemu Yayay. Tapi mama masih batuk-batuk dan demam tinggi. Sempat 39. Jadi sekali lagi kami hanya istirahat. Hari Sabtu, hari yang aku tunggu. Meskipun aku masih merasa kurang enak badan. Aku bersiap untuk berangkat. Saat di cek suhu tubuh, ternyata belum aman. 37.5. Aku merasa suhu segitu masih aman dong, karena untuk naik transportasi umum saat itu maksimum 38 derajat. Tapi mama menyuruh istirahat saja. Saat itu mama di cek 37 koma juga. Malah ingin ke acara pesta pernikahan anak temannya. Aku bilang, kalau aku ga boleh apalagi mama! Awalnya mama kekeuh, tapi menjelang siang, panas mama 38 koma lagi dan membatalkan untuk berangkat. Sabtu itu aku sedih sekali, karena hari yang aku tunggu-tunggu berantakan. Harusnya aku bisa jalan-jalan hari itu. Mama berencana mengajak ke dokter paru sorenya agar aku tidak parno terus, sekalian minta surat dokter karena tidak masuk sejak kamis dan butuh surat sakit hingga rabu.

Jadi, pada sore harinya, saya dan mama ke rumah sakit dekat rumah. Mama merasa sudah tidak demam karena parasetamol, begitu juga dengan aku. Sesampainya di rumah sakit, ternyata masuk rumah sakit dites suhu. Jadi saat itu suhu kami cukup normal. Kami menunggu dokternya dan kami akhirnya masuk ke dokter spesialis paru. Saat diberi tahu keluhan, dokterbya tanya berulang-ulang, ada kelur negeri ga? Aku bilang tidak, dengan mantab. Masih tanya lagi, jelas tidak. Lalu dokternya cek napas saya, dan saya di rontgen. Mama saya masih percaya kalau saya anxiety nya lagi kumat, cerita ke dokternya pada saat saya rontgen. Mama saya juga diperiksa, tapi tidak di rontgen, aman saja kata dokternya. Dokternya bilang "aman kok semua, resikonya sangat kecil karena tidak ada kemana-mana juga". Lalu mengecek hasil rontgen saya. Saat dibaca "bagus kok, gelap, ujung parunya juga lancip". Aku juga cerita hidung aku rasanya perih dan panas. Tapi dokternya bilang aman saja. Aku jadi tenang. Saat itu aku juga lihat memang orang-orang juga santai. Belum banyak yg pakai masker, bahkan yang batuk-batuk ada yg ga pakai masker. Agak ngeri memang, karena poli paru penyakitnya macam-macam. Tapi saat itu aku sudah lebih lega, karena memang tidak terasa demam lagi. Setelah mengambil obat, kami pun pulang. Hari minggu besoknya mama berniat untuk ke gereja. Aku pikir, ngaco! Masih batuk begini kalau gereja gimana? Bisa diliatin orang-orang. Mama bilang ya pakai masker, gapapa itu. Oke lah aku pikir. 

Besok Minggu paginya, mama ternyata demam lagi 39 hampir 40, sehingga tidak jadi ke gereja. Aku pikir ini juga sudah diatur Tuhan ya. Sepanjang perjalanan ini Tuhan atur semua. Jadi, kami tidak jadi gereja, tetapi hari Minggu tersebut kami pergi ke kuburan papa, tidak bertemu siapapun, karena sudah rencana mama untuk ke kuburan papa pada hari ulang tahun papa, 15 maret. Kami berdoa sebentar kemudian kami pulang. Saat itu cuaca panas dan cukup berkeringat, membuat aku lebih merasa segar. Siang harinya, saya mendengarkan audio alkitab Wahyu, karena saya merasa ada yang tidak wajar dengan dunia saat-saat ini, hingga ketiduran. Saat bangun aku coba ukur suhu badan ku, dan Puji Tuhan sudah normal, dibawah 37. Aku tidak pakai AC, dan benar-benar keringatan. Tapi suhu mama masih tinggi. Tiap hari aku berharap kami semua pulih. Mama pun mulai merasa bukan sakit biasa karena panasnya ga turun-turun. Ia pernah punya pasien yang sebulan demamnya ga sembuh2, lalu diberi obat antivirus dan demamnya turun. Tadinya kami ingin pakai obat itu kebetulan ada di rumah, tapi diurungkan. Aku baca artikel antivirus yang ampuh bernama tamiflu, bodohnya aku cari secara online, tentu saja tidak ada, karena antivirus tersebut hanya tersedia di pemerintah dan hanya jika ada kejadian berskala besar.

Senin siang, demam mama dalam skala yang cukup sedang, 37 koma. Hari itu kami berencana kontrol dengan dokter yang awal. Namun dokter tersebut baru ada malam. Sehingga kami memilih pulang dan ke rumah sakit lain karena terdapat dokter konsulan. Akhirnya kami kesana dan dokter mengecek hasil rontgen yang baru. Terlihat bercak, tapi masih positif thinking bahwa kemungkinan bronkitis. Namun kebetulan mama kenal dengan dokter rontgennya, Ia bilang dengan sedih ini terdeteksi pneumonia loh dok. Tapi kembali, dokter parunya masih positif thinking, hasilnya tidak buruk, diberi obat, namun dalam 3 hari harus kontrol untuk kepastiannya.

Selasa pagi demamnya turun hingga 37 koma, tapi malamnya mama demam lagi. Aku sudah tidak demam sejak minggu siang tersebut, meskipun merasa pegal-pegal. Jadi mama mau biar kami masuk lewat UGD dan dirawat di ruang kelas 1 yg biasa untuk 2 orang, aku dan mama. Awalnya mama mau ambil kamar VIP agar tidak gabung dengan pasien lain, karena takutnya nambah penyakit ketularan pasien lain, sedangkan aku aja yang jaga. 

Tapi aku bilang mending kita berdua di kelas 1 tapi kamar yang sama, sehingga kalau suatu waktu aku bermasalah lebih parah aku sama mama udah sekamar, apalagi dengan adanya asuransi. 

Ternyata rencana hanyalah rencana. Selasa malam itu kami ke UGD rumah sakit kedua tadi. Aku lemah-lemahin aja parasku supaya bisa dirawat bareng mama, karena hari itu aku sudah ga demam dan minim sekali batuk. Oiya, sedikit-sedikit aku sudah bisa mencium parfum mobil yang aku bawa, jadi aku pikir penciumanku sudah mulai membaik. Tapi dokter UGD menyebutkan bahwa sudah ada peraturan baru, bahwa pasien demam harus dirawat di isolasi. Jadi kami pun kembali untuk isolasi mandiri, karena kami pikir ruang isolasi bisa berisi banyak orang dan cukup mengerikan kalau saling menyebarkan penyakit. Hingga rabu paginya mama masih demam, kami kembali ke RS tadi meminta rawat inap berdasarkan rekomendasi dokter kedua, dan disetujui. Aku menjaga mama dan mama meminta VIP agar tidak gabung dengan orang lain. Jadi mama di infus dan mengatakan sudah lebih nyaman. Mama masih batuk2, tapi kami sudah terbiasa menggunakan masker dimanapun dan kapanpun, sedangkan yang kurasakan adalah capek sekali badan aku. Ga demam, ga batuk, tapi capeknya minta ampun. Hari itu aku jg berencana konsultasi dengan dokter mama. Jadi sekalian jaga aku daftar. Mama kemudian di CT-scan agar hasilnya lebih jelas, sedangkan aku tidur-tiduran saja. Karena takut beli makanan di rumah sakit, siang aku pulang untuk ambil baju, makan dan bawa bekal malam. Rasanya capek sih, jadi aku tidur sebentar, sebelum berangkat lagi. Hingga jam 7 malam, jadwal praktek dokternya, dokter tersebut ga kunjung datang, padahal aku ingin rawat jalan. Sekitar jam 8 malam, aku memperoleh WA dari saudaraku, kebetulan kenal dengan orang rumah sakit tsb. Ia bilang, hasil CT-scan mama jelek, dalam artian mengkonfirmasi gejala STUPID-19 ini. Disitu hatiku hancur sekali. Memang sih, pada satu titik aku sempat berucap, kiranya Tuhan mengampuni aku, 

" ma, dengan sakit yg begitu lama dan sulit ini, aku sih maunya ini bukan sakit biasa, tapi yang lagi banyak sekarang ini. Karena aku baca, orang yg sudah kena akan kebal untuk seterus-terusnya. Kebayang kalo kita kena penyakit yang biasa-biasa aja, kita bakal ketakutan terus dengan virus baru ini kan, seenggaknya kita sudah kebal"

(Karena saat itu sedang berkembang konsep herd imunity.)

Tapi menerima kenyataan bahwa hal tersebut kejadian benar-benar meruntuhkan duniaku. Aku terus mikir, bisa kena dari mana? (Kemungkinan besar pasien mama) kenapa harus kami? Aku sedih sekali malam itu, saya doa hari-hari supaya kami cepat sembuh, ternyata berat perjalanan.

Cuma aku berusaha positif karena kadang dokter bisa beda pendapat dengan bacaan CT-Scan. Hingga malam sekali tidak datang-datang info dokternya, tiba-tiba pukul 9 malam, dokter dan perawatnya datang dengan alat APD lengkap, benar-benar mengejutkan aku. Dokternya dengan tegas bilang mama harus masuk isolasi. Aku disuruh pulang, tidak boleh jaga mama! Pilu sekali hati aku saat itu. Aku menangis, lalu keluar bersama dokternya. Aku bilang, aku masih punya rawat jalan dengan dokter, gimana dong? Lalu dokternya memeriksa rontgen aku dan langsung memberi resep obat. Aku bilang aku mau ambil barang dulu ke kamar mama, dan diijinkan sama perawatnya. Aku ambil barang sambil nangis, lalu aku sama mama berdoa, aku jongkok/berlutut disamping kasur mama dan kami berdoa pada malam itu. Aku membeli obat barang sesaat, lalu aku pulang. Belum sampai mobil, teman-teman mama yang dokter menelpon aku untuk tetap kuat. Aku masih meneteskan air mata. Mereka bilang banyak istirahat, banyak makan, semuanya akan baik-baik saja. Aku pun pulang sendiri malam itu. Capek aku ga kerasa, aku lebih kerasa perihnya. Aku pun pulang ke rumah malam itu sambil menangis.

Sesampainya di rumah, aku merasa sangat lapar. Aku minta buatin kakak mie instan. Seingat aku, itu saat pertama aku merasa lapar, karena selama sakit ini aku hanya makan karena ingin cepat sembuh. Begitu juga mama yang merasa ga enak buat makan selama demam. Aku kehilangan 3 kilo dalam 1 minggu. Bukan metode diet yang baik!

Sampai kamar, group WA keluarga besar sudah banyak yang bikin doa-doa supaya kami tetap kuat. Aku pun menelpon Yayay supaya tidak kesepian. Aku pun lanjut tidur, tapi tidak bisa. Aku merasa obat dari dokternya terlalu berat, setiap mulai lelap aku merasa sesak napas dan terbangun keringetan. Terjadi beberapa kali. Sehingga saya bangun jam 3 4 subuh dan berjalan-jalan di dalam rumah keliling agar bisa capek. Ternyata, kaka saya pun ga bisa tidur karena merasa dadanya banyak reak. Jadilah subuh-subuh kami berkegiatan. Kakak mencuci piring dan memasak, aku jalan hingga capek. Saat kakak kembali tidur akupun bisa tidur. Rasanya masih ga nyaman, tapi karena letih akhirnya bisa tidur benar.

Besoknya, Kamis 19 Maret 2020, badan aku masih sangat letih rasanya. Mama sudah dipindah ke isolasi pada saat subuh. Meskipun masih letih, aku rasa cukup lega karena mama di tangan dokter yang tepat.  Hari ini mama di swab, dan saya disuruh antar kakak ke dokter juga untuk diperiksa. Karena kakak aku merasa ada reak di dada. Jadi kami ke dokter tersebut dan melakukan pengecekan, sekaligus saya menanyakan kenapa saya jadi tidak bisa tidur. Kakak pun di rontgen dan hasilnya keluar. Dokternya agak terdiam, lalu bilang, saya bilang ini masih tidak apa-apa. Jadi, diberi obat, sekalian saya tanya obat mana yang buat saya tidak bisa tidur. Dokter bilang yg lain boleh berhenti tapi antibiotiknya minum lagi. Hasil rontgen dikembalikan untuk diperiksa dokter rontgen. Saat di rumah sakit ini, pembimbing Pendalaman Alkitab (PA) me-WA aku, memberitahu bahwa teman-teman mulai bosan dan ingin video call via zoom. Aku ceritakan kondisi aku saat itu dan minta dukungan doanya. Pembimbingku cukup terkejut, tapi ia bijak dan menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja, dan akan mendukung kami dalam doa.

Akhirnya kami pun pulang. Aku pun minum kembali obatnya, dan siap tidur sambil ditemani yayay. Anehnya, aku mengalami kejadian yang sama! Setiap akan terlelap, badan terasa kebas dan seperti orang lupa bernafas. Berulang-ulang hingga subuh, aku bangun dan berusaha untuk letih lagi. Tapi aku pikir, ga bisa gini terus, pasti antibiotiknya! Aku pun meminum susu beruang 2 botol supaya cuci perut. Lalu aku pun bisa tidur setelahnya, kira-kira pukul 5 pagi. 

Jadi, pada pagi harinya, aku kembali mengeluhkan keadaan aku ke mama, sehingga kali ini mama menyuruh aku untuk ke dokter untuk periksa juga (kemarin kakak). Aku ke rumah sakit dan di rontgen. Kali ini dokter tersebut lebih objektif, memang terdapat sedikit berkabut, dan harus isolasi mandiri 14 hari. Aku pun masih terkejut dengan hal itu, meskipun aku tahu kurang lebih ya hasilnya akan seperti itu. Aku mengeluhkan juga sedikit batuk dan dada tertekan, tapi dokter bilang itu lebih ke psikosomatis atau stres, karena waktu di cek kadar oksigen 98%. Ia juga mengganti antibiotik dengan yang lebih ringan agar aku tidak sulit tidur. Untuk hari ini, saat aku tanya, mama merasa lebih nyaman karena diberi obat semalam dan bisa tertidur pulas. Tapi badannya masih lemas. Yang penting gejala tidak menjadi lebih buruk dan keadaan stabil. Aku pun pulang. 

Kakak aku cerita ternyata selama ini, tetangga rumah depan selalu mencuri-curi mengambil foto kami ketika kami ke rumah sakit dengan menggunakan masker. Saat kami mengeluarkan mobil, saat kami berangkat atau tiba, mereka diam-diam memotret dengan menggunakan handphonenya. Benar-benar tidak sopan! Kami diperlakukan seperti aib menurut mereka. Buat apa difoto? Supaya bisa disebar bahwa kami sedang menderita? Mungkin nuraninya sudah tumpul, sehingga senang ketika orang lain menderita. Ya, stigma memang kerasa banget kalau punya tetangga seperti ini. Tapi di satu sisi, aku memang orang yang cukup cuek, dan aku juga percaya ini bukan aib, karena memang resiko pekerjaan mama sebagai seorang dokter, suatu hal yang menurut aku mulia dan ditanggung.

Malamnya aku bisa tidur setelah antibiotioknya diganti. Istirahat yang baik terasa sekali manfaatnya.

Pada hari-hari sebelumnya, aku masih merasa harus olahraga agar cepat pulih, namun saat-saat ini badanku rasanya letih bahkan sekedar untuk jalan sedikit. Menurutku, ini lebih ke efek dari antibiotiknya ya, membuat badan jadi tidak senang bergerak. Tidak apa-apa pikirku, paling cuma sementara. Lalu mama menyuruh aku membeli alat cek oksigen darah, untuk jaga-jaga. Selama ini aku selalu pakai yang ada di hp samsung, nilainya juga cukup normal. Tapi aku beli juga dan ternyata hasilnya sama. 

Selama mama di rumah sakit, aku eneg sekali dengan konten TV yang isinya STUPID-19 lagi dan lagi, aku pikir sebaiknya waktu-waktu ini aku habiskan untuk dengerin kotbah "orang pinter", sebenarnya lebih untuk menguatkan imanku tentang Tuhan sendiri. 

Bagian ini aku ceritakan bukan berarti aku percaya atau tidak, benar atau tidak, atau valid atau tidak ya, tapi ini untuk future self supaya bisa mengingat dengan benar-benar jelas setiap potong kejadian selama kejadian ini. Aku saja sekarang mulai lupa tanggal berapa saja aku mendalami ini, tapi kurang lebih seperti ini sequencenya.

Kenapa sih Tuhan membiarkan ini terjadi? Apakah ada orang-orang yang punya pesan mengenai ini? Awalnya aku mulai dengan cari-cari kesaksian tentang perjumpaan dengan Yesus. Kenapa? Ya awalnya untuk tau saja bahwa ada orang-orang yang Tuhan pakai untuk terus menunjukkan Ia masih bekerja di jaman ini. Awalnya cek di youtube apakah ada yang punya mimpi atau penglihatan soal keadaan ini. Jawabannya? Banyak! Dari mulai februari hingga maret, dengan rata-rata pesan yang mirip, bahwa Tuhan datang segera, bumi seperti wanita yang sudah akan melahirkan, dll. Alkitabiah, tapi waktu ditonton videonya ternyata kebanyakan mimpinya ya sebenernya seperti mimpi unik/aneh biasa, tapi diterjemahkan setelah perenungan saat bangun. Sebenarnya memang cukup wajar mengingat dalam beberapa bulan saja berbagai kejadian besar terjadi di dunia. Senyata itu tanda-tandanya. Jadi, saya terus mencari ke sumber yang lebih "pendeta". Beberapa pendeta dari seluruh dunia berusaha menenangkan jemaat, pendeta besar di Afrika bilang semua kesulitan ini berakhir pada tanggal 20 sekian Maret, ada yang bilang sebelum Paskah, ada macam-macam. Menenangkan hati, menguatkan, tapi kok ya macem-macem sekali ya. Kenapa beda-beda kalau dengar suara dari sumber yang sama? Jadi, aku terus mencari, mungkin aku lebih tenang jika mendengar kesaksian yang sifatnya di masa lampau. Dari sana aku mendengarkan kesaksian kak Melani Prasetyo, yang menurut aku cukup valid karena saksinya juga banyak. 

Disitu aku mulai merasa dikuatkan dengan kesaksian tersebut. Ada juga kesaksian pendeta Dominggu Kenjam dimana ia benar-benar mengalami mujizat kesembuhan yang secara kedokteran tidak bisa dibayangkan.

Setelah mencari-cari lagi, ada juga yang bicara dibawa ke surga, ke neraka, dan prediksi-prediksi lainnya. Lama-lama aku malah mikir, ngapain sih cari manusia? Aku rasa itu dua yang cukup menguatkan, sisanya ya ditonton karena yang lain bahas STUPID-19 sampai eneg. Bayangkan, setiap 10 video pasti ada minimal 1 yang membahas hal tersebut!

24 Maret Singkat cerita, kondisi mama semakin membaik, sehingga meskipun masih batuk, namun sudah tidak lemas dan tidak demam, pulang pada hari Selasa 24 Maret. Sebenarnya mama inginnya sampai benar-benar stabil sampai Jumat, tapi dokternya mengharapkan mama pulang hari itu karena ruang isolasi diperlukan untuk pasien berikutnya. Jadi, malam hari aku menjemput mama ke rumah sakit. Saat menjemput itu pun, tetangga aku diam-diam memotret, dipergoki kakakku. Apa sih mau mereka? Rasanya seperti artis saja, tapi keterlaluan! Mungkin kalau diurus ITE juga bisa kali ya.

Sebenarnya agak sedih karena ga bisa di rawat sampai pulih banget, tapi banyakan senangnya karena mama udah bisa di rumah lagi. Jadi saat perjalanan pulang mama cerita, beberapa temannya pun di berbagai faskes hadilnya positif dan harus isolasi juga. Jadi memang profesi dokter benar-benar beresiko pada keadaan ini.

Mulai 25 Maret 2020
Protokol di rumah pun mulai diganti. Diluar kamar harus pakai masker, dan didalam kamar pun sebaiknya juga. Masing-masing punya sendok dan piring, dan harus diberi sabun saat ditaruh ke dapur. Meskipun serumah, jarak antar orang minimal 1 meter. Permukaan yang sering disentuh disemprot disinfektan. Mama punya kamar mandi sendiri, aku dan ka yuni di atas. Jadi memang lebih repot, tapi untuk kebaikan bersama juga. Kondisi mama masih batuk-batuk. Tapi kalau ditanya, memang sudah tidak lemas, hanya cenderung terganggu dengan batuk-batuknya.



Hari ini, 23 April 2020, hasil swab mama juga sudah keluar dan sudah negatif. Puji Tuhan, aku bahagia sekali. Harapan itu ada. God bless you.



Jadi, ada beberapa perenungan yang mungkin ingin aku share,

Meskipun tidak pernah kutanyakan dalam doa, tentu aku selalu bertanya pada diri sendiri. Kenapa harus kami? Ini pertanyaan yang sulit, karena memang tiap orang pasti berbeda jawabannya. Kami termasuk disiplin, sejak diumumkan ada kasus infeksi pertama di Indonesia, kami langsung pakai masker, terutama ketika di Jakarta. Mungkin ada benarnya juga Pak Stephen Tong. Ia menunjukkan bahwa di banyak negara maju, dengan sistem kesehatan terbaik, tidak menjamin penanganan yang diberikan menolong semua orang. Tidak ada obat, solusi di negara maju maupun berkembang tidak banyak berbeda. Ventilator dan parasetamol sebagai senjata utama. Manusia dengan segala kepintaran dan kemajuan teknologi sering merasa bahwa peradaban yang dikembangkan sudah sangat memuaskan, dan nilai-nilai rohani menjadi hal yang kuno atau ketinggalan jaman. Sebagai contoh, pernikahan di banyak negara maju bukan lagi menjadi hal yang sakral sesuai dengan nilai-nilai yang luhur, kamu bisa pilih tertarik kepada siapapun apapun fungsi biologisnya. Pernikahan menjadi seremonial komitmen setelah bertualang dengan berbagai pasangan. Tentu saya tidak akan menjauhi dan menghakimi pribadi-pribadi tersebut jika ada di sekitar saya, saya berteman dengan siapapun. Siapapun punya hak hidup dan tidak boleh dikucilkan dalam lingkungan sosial, tetapi saya tetap harus bilang hal tersebut salah secara nilai yang luhur.

Toh, ternyata nilai-nilai baru tersebut dianggap sebagai kemajuan besar bagi peradaban manusia, menunjukkan kemenangan hak asasi manusia secara utuh di tengah masyarakat, bahwa apapun yang manusia lakukan tidak boleh dihakimi jika tidak mengganggu orang lain. Manusia berusaha menjadi tuhan versi yang diinginkan masing-masing, dengan orang lain sebagai batasannya. Dengan virus yang begitu kecil, seluruh dunia bisa gempar, menunjukkan betapa kita tidak mengerti banyak hal dan yang kita tau belum tentu benar. Hidup sesuai nilai-nilai rohani menjadi nomor sekian, bahkan Tuhan mulai dilupakan. Manusia ingin "play god", karena "freedom from submission" dan kontrol penuh merupakan cita-cita perkembangan peradaban manusia. Mungkin dapat dilihat terbukti salah, dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan, meskipun secara dampak tentu saja tidak bisa disamakan dengan 100 tahun lalu, tetapi manusia bukanlah yang mengontrol nasibnya sendiri. 

Kembali lagi pada pertanyaan, kenapa kami? Melihat bahwa kami sudah melakukan yang terbaik untuk mencegah hal ini terjadi, pun kami tetap mengalaminya. saya jadi yakin, bahwa pelajaran yang saya dapat adalah: ya sudah, kita memang hanya manusia! Manusia bisa berencana, Tuhan yang menentukan.

Amsal 16:9 Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.

Dari awal kami sudah siap untuk menggunakan masker, ternyata terdampak juga. kepada siapa lagi sih kita hidup dapat berserah? Ini merupakan salah satu hasil diskusi yang aku dapatkan dengan Yayay. Yayay memang punya riwayat masuk rumah sakit yang cukup sering. Pneumonia, asma, auto-imun, demam berdarah, cukup banyak memang. Sedangkan aku, dirawat di rumah sakit untuk penyakit yang sebenarnya hanya ada di pikiranku, yaitu kecemasan. Namun begitu, Yayay bilang, apapun yang terjadi, semua sudah diatur oleh Tuhan, berserah saja. Sebagai pencemas, awalnya sulit untuk aku terima. Tapi, ini yang membedakan hidup yang disertai Tuhan dan hidup tanpa penyertaan Tuhan. Jika memang percaya Tuhan menyertai, kita memberi makna bahwa ada kebaikan dalam setiap kejadian yang kita alami. mungkin hal ini lucu bagi yang merasa Tuhan jauh atau bahkan kecewa sehingga menjadi tidak percaya. Apa bedanya percaya maupun tidak percaya, toh sama-sama kena. Tentu saja tidak berhenti hanya sampai disini. Tuhan tidak pernah lepas tangan kok dalam setiap kejadian yang aku alami. Aku lulus SMA dengan ranking semester terakhir 10 dari belakang, Tuhan bimbing supaya bisa masuk ke universitas dan fakultas favorit. Tidak sampai situ saja, Tuhan juga buat aku masuk ke jurusan yang aku inginkan pada urutan dibawah paling bontot, melebihi kuota, karena nilai aku lebih rendah dari 9 orang dengan nilai terendah namun aku tetap masuk ke jurusan tersebut, bahkan survive dan lulus tepat waktu dengan nilai termasuk aman. Kalau dipikir- pikir, waktu Tuhan ijinkan sesuatu, Tuhan akan menyertai, bahkan tanpa batas logika dan keadaan. 

Roma 8:28 Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana   Allah.

Ayat ini cukup berat juga untuk diterima. Saat segalanya berjalan baik dan sesuai ekspektasi, mudah untuk merenungkan ayat macam ini. Semua terbukti, bahwa Tuhan membantu, makanya tujuan kita tercapai. Namun, bagaimana kalau hal yang pahit yang terjadi, tidak sesuai rencana manusia, dan kita harus menerima ekspektasi terburuk yang kita bisa bayangkan? Mungkin itu yang ada di pikiran Petrus ketika Yesus menyatakan bahwa Ia harus mengalami penderitaannya. Secara manusia, itu adalah hal yang tidak terbayangkan oleh Petrus, guru yang ia ikuti harus meninggalkan mereka, sehingga Petrus menyatakan supaya hal itu dijauhkan. Sebagai Tuhan, Ia tau hal itu harus terjadi, karena ada misi yang jauh lebih besar yang harus dilaksanakan. Niat buruk Yudas Iskariot pun dipakai Tuhan untuk mendatangkan kebaikan.

Tentu setiap orang bisa bersyukur atas hal-hal lainnya yang terjadi dalam hidup, itu merupakan "coping mechanism" yang umumnya terjadi, apapun kepercayaannya. Tetapi, penyertaan, hadirat, dan komunikasi yang intens dengan Roh Kudus tentu menjadi pengharapan yang selalu ada, Roh Kudus yang selalu menyertai kita yang percaya. Pengharapan ini yang selalu memberi damai sejahtera bagi kita yang percaya. Aku belajar hal ini cukup secara keras. Tahun 2012, satu tahun setelah aku masuk kuliah, aku sempat masuk ke organisasi rohani dan 'terpapar' ide bahwa sebagai orang percaya, tidak ada orang percaya yang boleh meninggal karena sakit penyakit atau kecelakaan, karena Alkitab mengajarkan bahwa orang percaya diberi kuasa untuk menyembuhkan, punya otoritas atas penyakit.

Jadi lah, tahun 2012 aku terus berdoa untuk kesembuhan papa, dan saat papa kritis, aku berdoa segala rupa agar papa bisa sembuh, hardik, tengking, mohon di ICU, tetapi kenyataanya berbeda. Itu adalah saat dimana aku mulai sadar bahwa kita memang diberi kuasa untuk melakukan mujizat, tapi semua kembali ke kehendak Tuhan. Dan hingga kini pun kami sekeluarga tetap diberikan rejeki oleh Tuhan. Jadi, doa tentu saja mengubah segala sesuatu, tetapi hasil Tuhan yang tentukan, apakah doanya yang terkabul sesuai yang kita inginkan ataupun kita diberi kekuatan. Jadi, percaya saja Tuhan tetap bekerja dalam segala hal, dan Ia memberikan yang terbaik.

Luk 11:11 Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan?

Jadi, ini dasar untuk memohon, bahwa Tuhan tidak akan memberikan yang buruk kalau kita meminta yang baik. 

Blog ini belum selesai dan masih dalam proses pengembangan















Comments

Popular posts from this blog

Invasion Profile: Transition Zone

Mud Invasion Profile

Count Your Blessings: Rainy Season is Coming, Things are Getting Better